Minggu, Februari 15, 2009

TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. Al Mu'minûn: 115)
Penciptaan Manusia

Syaikh Abu Bakar Al Jazairi rahimahullah menjelaskan perbedaan pandangan masalah awal penciptaan manusia di kalangan orang-orang mu'minin dan mulhidîn (orang atheis). Manusia menurut teori kaum atheis diciptakan melalui perkembangan dan pertumbuhan (evolusi) mahluk yang paling buruk bentuknya. Selama jutaan tahun mahluk tersebut berangsur-angsur ada yang terwujud menjadi kera. Dari kera itulah selama jutaan tahun pula ia berubah menjadi manusia. Sementara itu orang-orang mu'min memandang proses penciptaan manusia dengan pandangan yang sungguh mulia. Allah menciptakan langsung manusia pertama di langit dari bahan tanah liat (at Thîn al Lâzib; QS. As Saffat: 11), melalui tanganNya sendiri, lalu meniupkan kepadanya ruh, mengajarkan kepadanya nama-nama benda dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya ('Aqîdatul Mu'mîn, hal 21-22).
Kedua perbedaan ini sangatlah mendasar. Sebab pada kenyataannya kaum atheis menolak pendapat bahwa manusia pertama tercipta atas kehendak dan perbuatan Allah Ta'âla. Bahkan secara tidak sadar, kurikulum pendidikan di Indonesia dengan serempak mendukung penolakan ini dengan menjadikan sosok "Charles Darwin" yang melahirkan "teori evolusi" sebagai bahan pengajaran pada mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang notabene adalah anak-anak muslim.
Setelah manusia diciptakan, kemudian turun ke dunia atas kehendak Allah, maka manusiapun memulai sejarahnya yang baru di dalam hidupnya. Ketika menafsyirkan QS. Al Baqarah: 213, Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa di awal penciptaannya, manusia berada di atas manhaj rabbani yang sahih baik di dalam perkara aqidah, prilaku, akhlaq mapupun mu'amalah. Barulah setelah pergantian masa dari sepuluh generasi berlanjut, mereka kemudian menjauh dari keadaan seperti itu hingga muncullah peribadahan syirik. Dalam kondisi seperti ini Allah Ta'âla mengutus Nuh 'alaihissalâm sebagai rasul pertama untuk memperbaiki keadaan tersebut. (Tafsyîr Ibnu Katsir, jilid I, hal.237).
Apa yang diserukan oleh nabiyullah Nuh kepada kaumnya adalah dalam rangka mengembalikan mereka kepada tujuan penciptaan manusia yang sebenarnya yaitu; beribadah kepada Allah Ta'ala semata-mata. Akan tetapi seruan ini ditanggapi ibarat angin lalu bagi mereka. Setelah melihat kondisi kaum nabi Nuh alaihissalam yang semakin menujukkan keingkarannya, maka Allahpun tidak segan-segan untuk menurunkan adzab setimpal berupa banjir bah yang dahsyat.

Tujuan Penciptaan Manusia
Manusia tidak dibiarkan begitu saja di dalam hidupnya. Ia diberi sekian bentuk piranti kehidupan yang membatunya untuk tetap hidup sebagaimana mestinya. Akan tetapi, semua perangkat yang diberikan kepada manusia ini tidak dapat secara mutlak mereka gunakan sekehendaknya. Allahlah yang menentukan jalan kehidupan serta memberi petunjuk tentang bagaimana cara menempuhnya (QS. AL Insan: 3), Dia pulalah yang seutuhnya memiliki hak untuk menilai hasil perjalanan hidup manusia selama di dunia. Ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia itu adalah sesuatu yang serius dan tidak main-main (QS. Al Mu'minûn: 115), sebab kepadaNyalah kita kelak akan dikembalikan.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan rahimahullah menjelaskan bahwasanya "ibadah kepada Allah" menjadi tujuan utama penciptaan manusia, sebab Allah Ta'âla berfirman; "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan." (QS. Adz Dzariyat: 56-58). Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkanNya karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka (harus) menyembahNya sesuai dengan aturan syari'atNya" ('Aqîdah at Tauhîd, hal. 52-53).
Apa yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan di atas adalah suatu kebenaran. Sebab kebutuhan manusia terhadap Rabbnya adalah fitrah yang nyata yang tidak mungkin dipungkiri oleh setiap manusia. Setiap manusia membutuhkan pelindung, penentram, pemelihara, pemberi setiap kebutuhannya, dari zat yang Mahakaya. Terbetiknya hati manusia untuk membutuhkan zat yang Mahakaya ini di dasari oleh pengakuan seluruh ruh ciptaan Allah yang ditiupkan kedalam jasad manusia bahwa Allah adalah Rabb bagi mereka. Bukankah Allah telah bertanya kepada setiap ruh bani Adam dengan pertanyaan; alastu birobbikum (bukankah Aku adalah Rabbmu ?), ruh itu menjawab; balâ syahidnâ ! (ya, kami menjadi syaksi !) (QS. Al A'raf: 172).
Setelah manusia memahami proses penciptaannya, kemudian memahami untuk tujuan apa ia diciptakan, maka ia harus mengerti pula tentang batasan-batasan peribadahan yang dilakukannya. Syaikh Shalih bin Fauzan di dalam kitab yang sama kembali menegaskan bahwasannya ibadah itu bersifat tauqifiyah. Artinya, tidak ada satu bentuk ibadahpun yang disyari'atkan kecuali harus berdasarkan kepada al Qur'an dan as Sunnah.
Seorang hamba harus memahai secara benar tentang bagaimana dan untuk apa ia beribadah. Jangan sampai ia terjerumus kedalam kejahiliahan yang mengakibatkan rusaknya ibadah serta rusaknya tujuan dalam ibadah. Hal ini sejalan dengan pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menjelaskan tentang syarat diterimanya ibadah manusia dihadapan Allah, yaitu jika di dalamnya terpenuhi dua hal. Pertama, ibadah tersebut harus khâlison yaitu ikhlas semata-mata hanya untuk Allah. Kedua, ibadah tersebut harus showâban (baik) yaitu dilakukan dengan berittiba' (mencontoh) kepada sunnah rasûlullâh (Syadzarâtul Balâtîn, hal. 402).

Tujuan Ibadah

Setiap ibadah, maka ia memiliki maksud atau tujuan. Secara hakiki (maqsud ashliy), sebagaimana dijelaskan oleh Al Imam As Syatibhi rahimahullah bahwa setiap ibadah dimaksudkan untuk mentauhidkan Allah dan menajdikanNya sebagai satu-satunya tujuan pada setiap keadaan. Akan tetapi setiap ibadah juga dapat disertai tujuan lain yang mengikutinya (maqsud at tabi’ah) yang hal itu dibenarkan secara syar’i. As Syatibhi mencontohkan seperti harapan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat, untuk mensucikan jiwa, atau mencari keutamaan-keutamaan (Al Muwafaqat fi ushulil Ahkam, jilid I, hal. 126).
Apa yang diterangkan oleh Al Imam Asyathibi di atas merupakan pandangan yang haq (benar), yang keluar dari lidah ahli tauhid. Pandangan tersebutlah yang menjadi inti dari da’wah para nabi dan rasul yang pernah diutus Allah di muka bumi ini. Hal itu pula yang dilakukan oleh para sahabat di dalam memulai da’wah mereka.
Di dalam ibadah, maka terkandung di dalamnya keyakinan seseorang terhadap apa yang ia ibadahi. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada umat ini di dalam hal ibadah telah menunjukkan hal yang serius. Munculnya kesyirikan dari tingkat masyarkat bawah hingga para selebriti seringkali kita lihat dibanyak media. Di media cetak, kita semua membaca bahwa saat Lumpur lapindo takterkendali, berapa banyak diantara umat ini yang mengadakan acara-acara sesajian di sana. Juga dalam kasus pencarian pesawat Adam Air yang hilang, bukankah mereka mengikut sertakan paranormal untuk ikut mencari ?, dan bayak kasus-kasus lain.
Mereka tidak sadar, bahwa perkara ibadah terkadang dapat menjadikan seseorang jatuh kedalam bid’ah yang mukaffarah (menyebabkan pelakunya murtad) maupun mufassiqoh (yang menyebabkan pelakunya menjadi fasiq/berdosa besar). Oleh karena itu, wajib bagi setiap kita untuk berhati-hati dan membekali diri dengan ilmu yang benar. Kesempurnaan manusia di dalam amal perbuatannya tergantung kepada ilmu yang sahih serta bermanfaat dan ‘amal yang shalih. Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengaskan hal itu dengan istilah al huda wa dinil haq. Ketika beliau membahas tentang tafsyir surah Al ‘Ashr, beliau berkata; “Allah bersumpah dengan kemahasucianNya bahwa setiap seseorang akan merugi kecuali bagi mereka yang menyempurnakan kekuatan ilmu dengan al iman, dan kekuatan ilmu dengan ‘amal shalih (Madarijuss Salikin, jilid I, hal. 6)
by Facebook Comment

Tidak ada komentar: