Minggu, Februari 15, 2009

MENELUSURI JEJAK GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG SEKULARISASI

MENELUSURI JEJAK GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG SEKULARISASI

Oleh: Adnin Armas, MA*

Pemikiran Nurcholish Madid (1939-2005) memang tidak bisa diabaikan dalam pembaruan (dulu sering disebut pembaharuan) pemikiran Islam di Indonesia. Nurcholish menyampaikan gagasan sekularisasi pertama kali pada tanggal 3 Januari 1970 dalam makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.” Nurcholish menyampaikan pidatonya di aula Menteng Raya 58, Jakarta (Gedung Pertemuan Islamic Research Centre), dalam acara malam silaturahim organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), menggantikan Dr. Alifan yang seharusnya menjadi pembicara utama. Dalam pidato tersebut, Nurcholish menganjurkan sekularisasi sebagai salah satu bentuk liberalisasi atau pembebasan terhadap pandangan-pandangan keliru yang telah mapan. Akibatnya, gagasan sekularisasi Nurcholish menuai reaksi, memicu pro-kontra. Tidak kurang dari seratus tulisan artikel pada tahun 1970-an terbit untuk menanggapi tulisan Nurcholish. Kritik dalam bentuk buku juga dilakukan oleh Prof. Rasyidi dan Endang Saefuddin Anshari. Prof. Rasyidi menulis sebuah tulisan berjudul Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi Atas Tulisan Drs Nurcholish Madjid (Jakarta: Yayasan Bangkit, 1972); Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid (Jakarta: DDII, 1973). Semuanya diterbitkan sebagai buku oleh Bulan Bintang. Endang Saefuddin Anshari menulis Kritik Atas Paham dan Gerakan “Pembaruan” Drs Nurcholish Madjid (Bandung: Bulan Sabit, 1973).
Tulisan di bawah ini akan menelusuri pemikiran Nurcholish tentang sekularisasi. Gagasan yang dianjurkan Nurcholish itu, merupakan awal dari pembaruan pemikiran Islam.

Perubahan Pemikiran
Pemikiran Nurcholish mengenai sekularisasi menunjukkan sebuah perkembangan ide. Sebelum menganjurkan sekularisasi pada tanggal 3 Januari 1970, Nurcholish dikenal sebagai seorang yang dengan tegas menolak pemikiran sekular. Dalam makalahnya, “Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi,” Nurcholish menolak gagasan sekular yang terumuskan dalam “Berikan kepada kaisar apa yang menjadi kepunyaan kaisar (urusan duniawi), dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi kepunyaan Tuhan (urusan ukhrawi).” Nurcholish menyatakan:
“Seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, adalah seorang ateis. Dan seorang sekular yang kurang konsekuen, akan mengalami kepribadian yang pecah (split personality). Di satu pihak mungkin dia tetap mempercayai adanya Tuhan, malahan menganut suatu agama, di lain pihak tidak mengakui kedaulatan Tuhan dalam masalah-masalah kehidupan duniawinya, melainkan hanya mengakui adanya kedaulatan-penuh manusia. Tegasnya, dalam masalah duniawi, seorang sekular pada hakikatnya tidak lagi ber-Tuhan, jadi ia adalah ateis.”
Nurcholish juga menyatakan:
“Kaum sekular yang kurang konsekuen (tidak sepenuhnya menjadi ateis), karena keadaan kepribadiannya yang pecah itu, akan mengajak kita untuk menganut paham bahwa kehidupan keagamaan adalah kehidupan perseorangan (prive), yaitu bahwa kehidupan keagamaan hanya berfungsi untuk menghubungkan diri seseorang manusia dengan Tuhannya (ibadat dalam pengertian sempit), sedangkan untuk masalah-masalah duniawi, mereka mengajak kita untuk memecahkan dan menyelesaikannya dengan cara-cara dan atas landasan-landasan yang lain. Bagi agama lain selain Islam, mungkin hal itu dapat saja terjadi. Tetapi bagi Islam, pemisahan masalah akhirat dari masalah duniawi, masalah perseorangan dari masalah sosial, adalah suatu hal yang tidak mungkin. Dengan meminjam istilah yang datang dari pihak kaum sekular sendiri, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Untuk orang bukan Islam, atau orang Islam nominal (statistik), pengertian itu pasti sukar sekali diterima. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh ulama-ulama Islam, Islam adalah sekaligus akidah (kepercayaan), syari’ah (ajaran hidup) dan nizham (sistem). Sebagaiman dikatakan oleh V. N. Dean, Islam adalah integrasi-mutlak agama, sistem politik, cara hidup dan interpretasi sejarah.”
Masih dalam penolakannya kepada gagasan sekular, Nurcholish menegaskan: “Islam tidak mengenal masalah duniawi yang terpisah dari masalah ukhrawi. Setiap kegiatan seorang Muslim, dari yang besar, seperti yang menyangkut masalah kenegaraan, sampai yang sekecil-kecilnya, seperti langkah-kaki keluar-masuk rumah, tidak pernah terlepas dari pengawasan Tuhan dengan ajaran-Nya, yaitu Islam.” Nurcholish menyimpulkan disebabkan kaum sekularis tidak mau menjadikan agama sebagai sumber norma-norma asasi dalam kehidupan duniawinya, maka mereka mengganti keyakinan mereka dengan humanisme, sebuah agama baru hasil ciptaan manusia.
Penolakan Nurcholish terhadap gagasan sekular seperti di atas menguasai PB HMI waktu itu. Berbeda pemikiran dengan PB HMI waktu itu, pemikiran pimpinan HMI cabang Yogja lebih cenderung sekular. Djohan Effendi dan Ahmad Wahib telah menyampaikan sekularisasi sebagai keharusan dalam training-training HMI pada awal tahun 1969. Pemikiran senada juga diikuti oleh Manshur Hamid dan Dawam Rahardjo. Akibatnya, terjadi dua kubu pemikiran antara PB HMI dengan HMI Jawa Tengah, khususnya cabang Yogja. Djohan Effendi dan Manshur Hamid, pimpinan HMI Jawa Tengah waktu itu mengejek pemikiran Nurcholis dan menyebutnya sebagai Nurcholisme. Mengomentari ide-ide 3 Januari, Sugiat A.S. bekas ketua Badko dan anggota PB HMI secara berkelakar berkata: “Sekarang Nurcholish seharusnya keluar dari HMI, atau Wahib-Djohan yang kembali masuk.” Ahmad Wahib menilai penguasa militer di Indonesia seakan merangkul Nurcholish dan terus mengisolir Natsir dan selalu mencurigai orang-orang yang berhubungan dengan Natsir.” Profesor Boland yang bukunya berjudul “Struggle of Islam in Modern Indonesia,” yang terbit pada akhir tahun 1970 melihat perubahan yang nyata dalam tulisan-tulisan Nurcholish pada tahun 1968 dengan tahun 1970. Endang Saifuddin juga menganggap “Nurcholish sekarang sudah sangat lain dengan Nurcholish dulu.” Kalangan Islam yang saat itu menolak sekularisme dan liberalisme, yang sebelumnya memuji pemikiran Nurcholish dan menjulukinya sebagai ‘Natsir muda,” sangat kecewa. Nurcholish sendiri mengakui setelah ia menyampaikan makalah pada tanggal 2 (?) Januari 1970, “semua menjadi nggak karu-karuan.”
Fenomena perubahan pemikiran Nurcholish, dalam pandangan Ahmad Wahib, disebabkan oleh kehadiran Sularso, pendamping Nurcholish di PB HMI pada saat itu dan juga kepergian Nurcholish ke Amerika Serikat selama 2 bulan. Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib menggambarkan kehadiran Sularso, memaksa Nurcholish lambat laun untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya. Sularso adalah pendobrak pertama pembaruan pemikiran Islam dalam tubuh HMI. Ahmad Wahib juga menyebutkan Nurcholish sebelum berangkat ke Amerika pada bulan Oktober 1968, sebagai orang yang anti Barat. Ketika seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat ditanya mengapa Nurcholish yang anti Barat diundang untuk melihat Negara Barat terbesar, orang tersebut menjawab “sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini.”
Tidak ada tulisan yang mengungkap suasana dan aktivitas Nurcholish di Amerika pada saat itu. Yang jelas, pertengahan tahun 1960-an, di Amerika Serikat, Buku Harvey Cox yang berjudul The Secular City adalah kasus yang terkenal (cause célèbre). Sejak pertama kali dicetak dan diterbitkan pada tahun 1964, buku The Secular City telah terjual hingga lebih dari sejuta naskah. Jumlah tersebut diluar perkiraan pengarang dan penerbitnya sendiri. The Secular City adalah buku yang paling banyak didiskusikan oleh kalangan Protestan. Bagaimanapun, buku tersebut juga diminati para teolog Katolik. Hal ini nyata ketika Konsili Vatikan Kedua mau berakhir pada tahun 1965, para peserta Konsili membahas dalam satu sesi mengenai peran Gereja dalam dunia modern (Church in the modern world). Di sini isu yang diangkat oleh Harvey Cox menjadi sangat relevan. Dan tak ayal lagi The Secular City menjadi pembahasan hangat di antara para tokoh Katolik peserta Konsili Vatikan Kedua tersebut
Mungkin, pemikiran Harvey Cox yang diterima kalangan Protestan secara umum di Amerika Serikat memberi kesan yang mendalam terhadap Nurcholish yang saat itu baru berusia 28 tahun. Sekalipun ada kemungkinan Nurcholish telah mendengar pemikiran sekular dari “limited group” yang memang sudah terlebih dahulu akrab dengan pemikiran Harvey Cox, namun pemikiran Mukti Ali dkk belum memberi warna dalam pemikiran Nurcholish. Kunjungannya ke Amerika Serikat tampaknya menjadi titik-balik dari perubahan pemikirannya.

Menggulirkan Gagasan Sekularisasi
Nurcholish menggulirkan gagasan sekularisasi untuk pertama kalinya pada tanggal 3 Januari 1970. Ia menyampaikan gagasan tersebut dalam tulisannya berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.” Dalam artikelnya, ia menyatakan pembaruan Islam harus dimulai dengan melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Di sinilah proses liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, tegas Nurcholis, diperlukan. Proses ini menyangkut proses-proses yang lain seperti sekularisasi, Intellectual Freedom atau Kebebasan Berpikir, Idea of Progress dan Sikap Terbuka. Menurut Nurcholish, sekularisasi bukanlah menerapkan sekularisme, karena secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Sedangkan sekularisasi adalah liberating development.
Gagasan sekularisasi yang dilontarkan Nurcholish pada tanggal 3 Januari 1970, masih sangat sederhana (hanya satu lembar bolak-balik). Nurcholish juga masih menjadikan sekularisasi sebagai salah satu proses saja dari berbagai proses lain yang juga diperlukan dalam pembaruan pemikiran Islam. Selain itu, Nurcholish tidak memberi justifikasi yang mendalam terhadap gagasan sekularisasi. Ia juga tidak menyebutkan sumber pemikirannya. Namun, dengan melihat bahasa Inggris yang digunakan oleh Nurcholish dalam makalah tersebut, maka gagasan Nurcholish tersebut berasal dari pemikiran Harvey Cox. Dalam bukunya The Secular City (1965), Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Universitas Harvard, berpendapat inti dari sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Harvey Cox menolak tegas sekularisme. Sebabnya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Jadi, sekularisasi berbeda dengan sekularisme -- yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Bahkan Harvey Cox menganggap sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.
Makalah Nurcholish pada tanggal 3 Januari 1970 menunjukkan sekularisasi bukanlah sekularisme. Ini adalah ide Harvey Cox. Sekalipun pembahasan Nurcholish tentang sekularisasi masih sangat sederhana, namun gagasan Nurcholish pada saat itu telah menjadi isu yang sangat hangat. Mungkin hangatnya isu tersebut tidak terlepas dari posisinya sebagai Ketua Umum PB HMI dan berbagai pihak memiliki kepentingan tersendiri dalam wacana hubungan antara Islam dan Negara. Rezim orde Baru termasuk sangat diuntungkan karena saat itu ideologi Islam dianggap sebagai sebuah ancaman.
Setelah berbagai tanggapan dan kritikan muncul, Nurcholish memberi penjelasan mengenai pendapatnya. Dalam tulisannya yang kedua, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Dalam Islam,” (5 lembar) ia merasa perlu memaparkan istilah sekular secara bahasa. Baru dalam tulisan tersebut, nama Harvey Cox disebutkan ketika mengutip pendapat Harvey Cox mengenai perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi.
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Oleh sebab itu, ia menerangkan tentang etimologi sekularisasi. Nurcholish menyatakan “Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang.”
Sebenarnya, pemaparan etimologi kata sekular yang disebutkan Nurcholish juga merupakan ide Harvey Cox. Menurut Harvey Cox, istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu mundus. Kata saeculum lebih menunjukkan waktu (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space).
Dalam pandangan Cox, disebabkan dalam bahasa Latin, kata dunia memiliki dua kata yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia dalam bahasa Latin adalah kata yang ambigu. Ambiguitas kata “dunia”, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara orang Yunani kuno dan orang Yahudi dalam memandang realitas. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sebuah tempat. Peristiwa-peristiwa terjadi di dalam dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada dunia. Sebaliknya, orang Yahudi menganggap dunia sebagai suatu waktu. Esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa-peristiwa terjadi secara berurutan, bermula dari penciptaan dan menuju kesempurnaan. Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan. Ketegangan konsep antara filsafat Yunani kuno dan agama Yahudi dalam memandang realitas memiliki dampak terhadap pembentukan teologi Kristen sejak awal.
Setelah mengungkap etimologi kata sekular, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian menjelaskan:

“Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.”

Jadi, secara etimologis, menurut Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam karena memang manusia adalah makhluk sekular. Dia jelaskan lagi:

“Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu.”
Pendapat Nurcholish di atas sekedar mengulangi pemikiran Harvey Cox. Menurut Harvey Cox, kata secular menjadi bermakna negatif karena kata tersebut adalah korban pertama dari ketidakinginan orang Yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Agama Yahudi mengajarkan konsep sekular menunjukan “kondisi” (condition) dunia ini, pada zaman ini (this age), atau ‘masa sekarang’ (now). Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan ini juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan oleh waktu atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical process). Jadi, inti dari makna “sekular,” adalah konteks dunia berubah terus-menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian adalah relatif.
Harvey meneliti perubahan makna yang terjadi pada kata sekularisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan pengaruh Hellenistik, makna kata sekular sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior. Sekular sudah bermakna perubahan di “dunia ini” bertentangan dengan “dunia agama” yang kekal-abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal-abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia “sekular” yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transient).
Makna kata sekular semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dan Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih rendah atau dunia “sekular”. Harvey Cox menyimpulkan dunia dianggap rendah karena lebih kuatnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen dibanding ajaran Yahudi, simpul Cox.
Padahal, Bibel sudah menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Tuhan segala kehidupan tergambar di dalam sejarah. Ajaran Bibel menyatakan bahwa kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata sekularisasi, yang pertamanya memiliki makna yang sangat sempit dan khusus, kemudian perlahan-lahan meluas. Sekularisasi yang pada awalnya bermakna proses pindahnya tanggung-jawab pendeta “yang agamis” menjadi kepada gereja yang terbatas, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Sekularisasi bermakna pembagian antara institusi spiritual dan sekular. “Sekularisasi” bermakna pindahnya tanggung-jawab tertentu dari Gereja ke kekuasaan politik.
Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode Pencerahan (Englihtenment) dan Revolusi Perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini tetap digunakan di negara-negara yang mewarisi budaya Katolik. Proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari Gereja ke administrasi publik, misalnya, disebut sekularisasi. Akhir-akhir ini, makna sekularisasi kembali mengalami perubahan. Kini, sekularisasi bermakna gambaran sebuah proses pada tingkat budaya, yang sejajar dengan tingkat politik. Sekularisasi berarti hilangnya diterminasi agamis terhadap simbol-simbol integrasi budaya. Sekularisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari sekularisasi politik dan sosial.
Jadi, menurut Harvey Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholish tentang “sekularisasi” dan “penduniawian.” Menurut Nurholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.
Sedangkan Nurcholish menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.
Tulisan ringkas Nurcholish dalam “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Dalam Islam,” (6 lembar) tampaknya ingin menegaskan 2 hal. Pertama, secara etimologi, kata “sekular” bukan saja sah, tetapi memang harus digunakan. Kedua, Nurcholish menegaskan kembali perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme. Dalam artikel tersebut, nama Harvey Cox disebut untuk pertama kalinya.
Sebenarnya, upaya Nurcholish untuk menjustifikasi penggunaan kata sekular tampaknya malah mengaburkan persoalan. Sebabnya, “matter of conflict” dalam gagasan sekular bukanlah sekedar persoalan bahasa an sich, tetapi justru dalam persoalan terminologis. Ahmad Wahib saat itu menyadari kekeliruan Nurcholish. Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menyatakan “Adalah kurang terus terang bila Nurcholish mengartikan secular semata-mata dengan dunia atau masa kini dan sekedar mengatakan bahwa semua yang ada kini dan di sini adalah hal-hal sekular: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular dan lain-lain. Sekular sebagai suatu sifat – misalnya mengenai suatu masyarakat yang menjadi tujuan proses sekularisasi yaitu masyarakat sekular-tidak saja harus didekati dari segi etimologi, tapi lebih penting lagi dari segi terminologi. Dalam pendekatan terminologis, tidak semua orang bisa disebut sekular dan tidak semua masyarakat merupakan masyarakat secular, sebab secular sudah mempunyai arti terhapusnya campurtangan “agama” (sebagai fenomena social atau das sein) dalam pemecahan langsung masalah-masalah social. Karena itu ketika menjelaskan jalannya proses sekularisasi di Amerika Serikat dan Inggris, kita tidak heran bila ada sebutan “masyarakat sekular yang pertama” dalam buku Bryan Wilson Religion in Secular Society.”

Justifikasi Sekularisasi

Dalam tulisannya yang ketiga, “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi,” Nurcholish berusaha mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio. Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara mannusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish menyatakan bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/spiritualkeagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.
Pendapat Nurcholish bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam sama dengan pendapat Harvey Cox yang menyatakan bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran-ajaran Bible. Dengan mengutip pandangan Friedrich Gogarten (1887-1967), seorang teolog Jerman, Harvey Cox menyatakan sekularisasi “adalah konsekwensi sah dari implikasi keimanan Bible terhadap sejarah”. Harvey Cox memaparkan tiga komponen penting dalam Bible menjadi kerangka asas kepada sekularisasi. Ajaran Bibel mengenai Penciptaan, menjadi dasar kepada pengosongan alam dari nilai-nilai spiritual; migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dalam Bibel menjadi dasar kepada desakralisasi politik; dan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant) merupakan dasar kepada relativitas nilai.
Dunia, kata Harvey Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini disebut ‘disenchantment of nature, Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga dunia ini. Disebabkan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai ghaib itu menjadi syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam bukanlah suatu entitas yang suci.
Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan ‘Desacralization of politics’, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral (desakralisasi politik). Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama ke atas institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik).
Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama (deconsecration of values/dekonsekrasi nilai-nilai). Dalam pandangan sekular, kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi.

Pengertian Sosiologis-Sekularisasi
Nurcholish membahas lagi tentang sekularisasi pada tahun 1985. Ia menulis “Sekularisasi Ditinjau Kembali.” Dalam tulisan tersebut, Nurcholish ingin menegaskan pengertian sekularisasi secara sosiologis, bukan filosofis. Ia mengutip pendapat Talcoot Parsons dan Robert N. Bellah. Bagi Nurcholish, penggunaan kata “sekularisasi” dalam sosiologi mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sacral. Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka “sekularisasi”-nya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan bid’ah, khurafat dan praktek syirik lainnya, yang kesemuanya itu berlangsung di bawah semboyan kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan agama. Maka, sekularisasi seperti itu adalah konsekuensi dari tauhid.
Bagaimanapun, Nurcholish mengakui sangat sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis. Oleh sebab itu juga, kritikan Pak Rasyidi cukup beralasan dan dapat diterima, yaitu jika sekularisasi memang tak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa Englightenment Eropa. Nurcholish menyimpulkan adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah sekular, sekularisasi dan sekularisme dan mengganti dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.

Penutup
Nurcholish ingin menunjukkan ada banyak pengertian makna sekularisasi. Bagaimanapun, ia tampak tidak konsisten. Pada awalnya, ia mengikut pendapat Harvey Cox. Dalam perjalanan waktu, disebabkan resistensi dari Kalangan Islam, ia mengutip pendapat Robert N Bellah. Seakan-akan terjadi perbedaan yang prinsipal antara sekularisasi dalam pengertian sosiologis dengan filosofis. Bahkan Nurcholish menyatakan pengertian sekularisasi secara sosiologis lebih dahulu disbanding dengan pengertian filosofis. Padahal, Robert N. Bellah dalam karyanya ‘Beyond Belief’ terwarnai oleh pemikiran Harvey Cox. Bellah mengutip pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan Problem-Problem Modernisasi. Bellah melanjutkan gagasan sekularisasi dalam bidang politik dengan gagasan ‘civil religion’.
Sekularisasi dari satu sisi memang memiliki kesamaan dengan pemberantasaan bid’ah, khurafat dan praktek syirik. Namun, sekularisasi dari sisi yang lain adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan sekular, misalnya, kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi. Dengan konsep ini, manusia sekular bisa tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif. Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat” dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Quran.
Fakta-fakta yang telah terungkap menunjukkan Nurcholish Madjid mengadopsi gagasan sekularisasi yang berangkat dari konsep dan pengalaman sejarah agama Kristen. Banyak yang menyebutkan, bahwa sekularisasi sudah merupakan keharusan bagi dunia, karena kuatnya dominasi Barat. Seharusnya, ilmuwan Muslim bersikap kritis saat mengadopsi gagasan-gagasan seperti ini, karena konsep sekularisasi memang bertentangan dengan konsep Islam. Sejarah Islam juga tidak pernah mengalami pengalaman pahit dalam hubungan antara agama dengan negara, atau pertentangan antara agama dengan sains seperti dalam sejarah Kristen. Karena itu, tidak bijak, jika konsep dan gagasan sekularisasi ini kemudian diadopsi dan diterapkan dalam masyarakat Muslim, yang memiliki pandangan-alam (Islamic worldview) sendiri.
by Facebook Comment

Tidak ada komentar: