Minggu, Februari 15, 2009

Pluralisme Agama: Paham Syirik Kontemporer

Pluralisme Agama: Paham Syirik Kontemporer
Oleh : Adnin Armas, M.A.
(Direktur Eksekutif INSISTS/Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization)

Pemikir Muslim di Indonesia dan Gagasan Pluralisme Agama
Akhir-akhir ini, beberapa pemikir Muslim di Indonesia mengumandangkan gagasan bahwa kebenaran bukanlah monopoli milik agama Islam saja. Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah satu-satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran. Prof. Dr. Munir Mulkhan, misalnya, menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin. (Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2002, hal. 44)
Budhy-Munawar Rachman, mantan Direktur studi Islam di Paramadina dan editor Ensiklopedi Nurcholish Madjid, misalnya menolak eksklusifitas kebenaran Islam dan meyakini teologi Pluralis. Budhy meyakini pendapat para pemikir pluralis seperti Wilfred Cantwell Smith, John Harwood Hicks, Paul Knitter, John B. Cobb Jr., Raimundo Panikkar, Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan lain lain. Budhy misalnya mengutip pendapat Paul Knitter yang menyatakan All religions are relative- that is, limited, partial, incomplete, one way looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensif, narrowminded…”; Deep down, all religions are the same-different paths leading to the same goal.”. ; Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hicks); Other religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr.); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar). (Budhy-Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001, hal. xiii).
Masih seirama dengan keduanya, Sukidi, salah seorang kandidat doktor di Universitas Harvard Amerika Serikat menyatakan: ”…semua agama pada hakikatnya benar, hanya cara mendekati kebenaran itu sahaja yang menggunakan sekian banyak jalan.” Ia juga memeluk Islam kerana alasan sosiologis bukan kerana Islam pasti yang paling benar, tapi kerana Islam juga menyediakan sumber jalan yang sama untuk menuju Tuhan. Jadi, Islam menjadi sumber yang equal dengan agama-agama lain dalam menunjukkan jalan kepada Tuhan. Dengan premis itu, proses pencarian kebenaran dari berbagai tradisi agama lain bisa dihargai. (Lihat web islamlib.com). Senada dengan penulis yang telah disebutkan di atas, Sumanto al-Qurtuby, seorang alumnus dari fakultas Syairah IAIN Semarang, menyatakan, “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Yogyakarta: Rumah Kata, 2005, hal. 45).
Fatwa MUI tentang Pluralisme Agama
Menanggapi semaraknya gagasan kesamaan agama di tengah-tengah masyarakat, Majlis Ulama Indonesia dalam MUNAS ke-7, yang berlangsung dari tanggal 26-29 Juli 2005, mengeluarkan fatwa pada tanggal 29 Juli 2005 yang melarang ummat Islam untuk mengikuti faham pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Dalam pandangan MUI, “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.” Bagi MUI, paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran Islam. Fatwa MUI didasarkan kepada ayat-ayat al-Qura’n di antaranya seperti; “Barang siapa mencara agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran [3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19). “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS al-Kafirun [109]: 6). Selain itu, MUI mendasarkan kepada beberapa hadist diantaranya: hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim). Selain hadits tersebut, Rasulullah saw juga mengirim surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari). MUI juga menegaskan perbedaan antara pluralisme dan pluralitas. Dalam pandangan MUI, « Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. »
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sangat diperlukan karena gagasan menyamakan agama merupakan faham syirik kontemporer. Dan yang memprihatinkan, gagasan syirik tersebut justru digagas oleh kalangan akademisi yang memiliki latar-belakang pendidikan formal yang tinggi.
Gagasan Titik-Temu Transendent Agama
Gagasan yang menyamakan agama bukanlah berasal dari ajaran Islam. Ada 4 kelompok yang menyuarakan kesamaan agama. Pertama, Gagasan Humanisme Sekular. Kedua, Gagasan Teologi Global. Ketiga, Ajaran Sinkretisme. Keempat, ajaran Hikmah Abadi. (Untuk lebih detil mengenai ke-empat kelompok tersebut, lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
Dari ke-empat kelompok tersebut, yang paling banyak mencari justifikasi teologis dari ajaran Islam adalah kelompok Transendentalis dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan lain-lain. Salah seorang tokoh Transendentalis, Frithjof Schuon menegaskan semua agama mengajarkan kepada kebenaran dan kebaikan. Oleh sebab itu semua agama sama pada tataran esoteris. Sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Inilah Agama Abadi (Religio Perennis), menurut Frithjof Schuon.
Gagasan yang ingin membenarkan semua agama adalah keliru. Sebabnya, selain Islam, agama lain tidak lagi otentik. Sebenarnya, kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat diketahui juga dari historisitas berbagai agama tersebut. Sarjaa Kristen-Yahudi banyak yang telah meninggal ajaran-ajaran dasar agama Yahudi-Kristen sendiri. Dampaknya, dikalangan mereka sendiri sudah tidak terdapat lagi titik-temu. Sebagai contoh adalah “Kitab Suci.” Jika dahulu, para teolog Kristen mengakui otentisitas Bibel, maka sejak zaman modern sehingga kini, para teolog Kristen modern dn kontemporer melakukan kajian kritis terhadap Bibel. Kesimpulannya, mereka menolak otentisitas dan finalitas Bibel. Penolakan mereka terhadap kebenaran Bibel sebenarnya sesuai dengan pernyataan Allah dalam al-Qur’an yang memang menegaskan perubahan-perubahan yang telah dilakukan terhadap Bibel. Allah SWT berfirman yang artinya: “Mereka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”. (QS Al-Maidah [5]: 13) Lihat juga al-Baqarah [2]: 75; Al-Nisa [4]: 46 dan al-Maidah [5]: 41).
Biasanya gagasan menyamakan agama dibangun di atas sebuah asumsi bahwa agama-agama memiliki ”Tuhan yang sama.” Gagasan kesamaan Tuhan adalah keliru karena sebenarnya masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain. Allah S.W.T. menegaskan siapa yang menganggap bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan termasuk orang-orang kafir. Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam.” (QS al-Maidah [5]: 72). Selain itu, Allah SWT juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa.” (QS al-Maidah [5]: 73). Jadi, gagasan titik-temu agama-agama pada level esoteris pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain.
Sekedar memercayai adanya Tuhan tidaklah cukup dalam Islam. Iblis juga memercayai adanya Tuhan. Jadi, memercayai Tuhan akan salah, jika tidak tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yg telah di utus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu akan disebut kafir karena ia tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya. Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, masih juga di sebut kafir disebabkan pengingkaran kepada perintah-Nya. Jadi, memahami dan mengakui Tuhan harus dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalan-Nya. Selain itu, hanya dengan melalui perintah, bentuk cara, jalan-Nya maka Kebenaran akan diketahui. Ringkasnya, hanya Islam agama yang benar dan selainnya adalah agama yang salah.
by Facebook Comment

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.