Senin, Juni 01, 2009

MENJADI SUAMI PENGERTIAN

Dalam hidup berkeluarga, peluang terjadinya konflik sangat banyak. Dari persoalan-persoalan yang kecil hingga persoalan yang besar bisa menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga. Pensikapan masing-masing, antara suami dan istri sangat menentukan kualitas hubungan suami dan istri selanjutnya. Sebut saja misalnya ketika seorang istri teledor saat menggoreng tempe. Gorengan tempenya hangus, sebab ia tidak bisa berkonsentrasi pada gorengannya. Telepon berdering keras, anak yang digendong menangis karena ngompol. Ribet, bingung dan stres! Sementara sang suami hanya tidur-tiduran sambil menunggu gorengan tempe tersedia. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si suami ketika mengetahui tempe yang dinanti-nantikannya hangus dan tidak bisa dimakan?

Menyikapi kasus tempe hangus seperti itu, setiap suami mungkin akan berlainan sikapnya.

Seorang suami mungkin akan mengatakan, "Kamu gimana sih, masa goreng tempe saja nggak bisa...?! Emang dulu nggak pernah diajarin ibu kamu masak?"

Pedas, ketus dan menusuk! Suami itu marah-marah dan tidak mau tahu apa yang dialami istri. Ia hanya mau tempe kesayangannya tidak hangus dan bisa segera ia makan. Ia tidak mau tahu betapa susah istrinya menggoreng tempe dengan seabrek kesibukan yang harus ia tangani. Kesibukan istri yang 'super heboh' tidak membuatnya ber-empati pada istri tercintanya.

Sebagian suami lain akan bersikap berbeda. Saat mengetahui tempe yang digoreng istrinya hangus, ia mengatakan, "Cara menggoreng tempe itu begini lho... begitu saja tidak bisa." Mulutnya ngedumel sembari mengajari istrinya menggoreng tempe. Sementara istrinya dibiarkan merasa bersalah dengan merasa 'bego' seolah sama sekali tidak bisa menggoreng tempe.

Tentu saja dua model pensikapan suami tersebut menimbulkan dampak yang berbeda pada sikap istri. Sebagian besar istri akan membenci suami-suaminya bila suami berbuat demikian. Mereka akan mengatakan suami mereka adalah suami yang galak, sok tahu, dan hanya mau menang sendiri.

Lain halnya bila seorang suami memiliki sikap yang manis. Meski tempe yang digoreng hangus, ia bisa mendatangi istri dengan lembut seraya berkata, "Kamu sedang letih ya, Mah. Ada yang bisa saya bantu untuk meringankan beban kamu?" Dengan kata-kata menyentuh seperti itu, seorang istri bisa saja langsung menangis saking terharunya. Hatinya yang panas membara seolah diguyur air es yang dingin dari kutub selatan. Byuurrr! Ia merasa suaminya bagaikan sosok lelaki yang penuh pengertian dan penuh perhatian. Bukan kecaman yang ia terima, bukan makian yang ia dapatkan. Namun ia justru mendapatkan perhatian yang luar biasa dari suami tercinta. Hilanglah kepenatan pekerjaan. Hilanglah kegalauan hati dan pikiran. Semuanya sirna hanya karena kata-kata. Tempe yang hangus sudah dilupakan. "Masa bodo dengan tempe hangus." katanya dalam hati.

Inilah yang dibutuhkan dalam menyikapi konflik. Rasa empati dan perhatian yang proporsional merupakan air segar di kala dahaga konflik mulai menggarang. Jadilah suami pengertian agar istri merasa tenang di kala membutuhkan. Sehingga bahtera rumah tangga akan semakin aman berlayar mengarungi dahsyatnya hidup yang penuh ombak dan gelombang.

Burhan Sodiq, S.S
Penulis adalah reporter MQ 100,9 FM Solo
Sumber: eramuslim, 04 April 2005 by Facebook Comment

BUNDA, SEMOGA BOTOL ITU MENJADI SAKSI

"Assalamualaikum..." kuketuk pintu rumah perlahan setelah turun dari ojek. Yup, aku pulang malam hari ini. Sore tadi aku sempat menelpon bunda (panggilan untuk isteriku) dan mengatakan bahwa hari ini mulai lembur lagi. Seperti biasa, tiap awal bulan aku harus membuat laporan untuk setiap pelanggan di tempatku bekerja.

Suasana di sekitar rumah kontrakan kami sudah sepi dan aku membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Biasanya bunda menungguku pulang sambil tidur-tidur ayam, jadi pintu tidak dikunci, namun terkadang ia sudah terlelap dalam mimpinya ketika aku sampai di rumah.

"Ah, sudah pukul setengah sebelas," gumamku. Dan tepat dugaanku, bunda sudah tertidur di samping jagoan kecil kami yang bernama Muhammad Rasyid, anak pertama kami. Perlahan aku melangkah dengan kaki agak menjinjit lalu kukecup pipi mereka berdua, sambil tangan kananku menjinjing sepatu. Maklum kami mengontrak rumah petakan yang desainnya memanjang kebelakang. jadi, bila ingin ke dapur berarti aku harus melewati kamar tidur dulu.

Sambil menaruh sepatu di kardus tempat lap, kulihat banyak botol susu yang kotor menunggu dijamah supaya bisa dipakai kembali esok. Kami tidak mempunyai rak sepatu karena menurut ibu, dapur kami sudah terlalu sempit untuk ditambah rak sepatu. Lagipula sepatu yang ada hanya punyaku dan bunda, hanya 2 pasang saja, jadi tidak memakan banyak tempat.

Selesai shalat isya dan ba'diyah, aku langsung mencuci botol susu yang kotor itu. Wah, banyak sekali. Setelah selesai mencuci, aku harus segera merebus botol-botol itu, biar Bunda tidak repot esok pagi.

Alhamdulillah, aku dan bunda sudah berkomitmen untuk memberi Rasyid ASI. Walaupun sekarang sudah tidak ASI ekslusif, namun aku bersyukur komitmen tersebut masih kuat dijaga dan insya Allah bisa sampai 2 tahun.

Sungguh aku bersyukur, istriku mau rela repot setiap hari menenteng botol susu saat berangkat ke kantor dan menyempatkan waktu untuk memerah ASI di sela waktu istirahatnya di kantor. ASI tersebut disimpannya di lemari es, dan dibawa pulang selepas usai jam kantor untuk persediaan susu Rasyid esok hari.

Ah, sayang semoga usaha kita selalu mendapat ridhaNya dan anak-anak kita menjadi anak-anak shalih, garda depan pembela dien kita.

Samar aku teringat isi Surat Al Baqarah ayat 233, "Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyusui secara sempurna ..."

"Aku bangga sekali padamu bunda", ujarku dalam hati.

Walaupun isi ayat ini seruan, namun maknanya begitu agung. Allah tahu yang terbaik buat anak-anak kita.

Dan Allah juga Maha Adil ketika ayat tersebut dilanjutkan dengan, "... seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya... Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya..."

Subhanallah, semoga botol susu itu menjadi saksi perjuangan kita, sayang.

Ayah sayang bunda, sungguh.
Wallahu 'alam bishshowab.
Sumber: eramuslim, 05 April 2005 by Facebook Comment

MENIKAH, BUKAN SEKEDAR MEMADU CINTA

MENIKAH, BUKAN SEKEDAR MEMADU CINTA

Rumahku surgaku", ujar Rasulullah singkat saat salah seorang sahabat bertanya mengenai rumah tangga beliau. Sebuah ungkapan yang tiada terhingga nilainya, dan tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Sebuah idealisme yang menjadi impian semua keluarga. Tapi untuk mewujudkannya pada sebuah rumah tangga (keluarga) ternyata tidaklah mudah. Tidak seperti yang dibayangkan ketika awal perkenalan atau sebelum pernikahan. Butuh proses, butuh kesabaran, butuh perjuangan, bahkan pengorbanan juga ilmu!

Saat ini, persoalan dalam keluarga membuat banyak pasangan suami istri dalam masyarakat kita menjadi gamang. Baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Wajar, karena itulah hakikat hidup. Bukan hidup namanya jika tanpa masalah. Justru masalah yang membuat manusia bisa merasakan kesejatian hidup, menjadikan hidup lebih berwarna dan tidak polos seperti kertas putih yang membosankan. Namun jangan sampai masalah-masalah itu mengendalikan diri kita hingga kita kehilangan hakikat hidup.

Lihatlah sepanjang tahun lalu, tahun 2004, begitu banyak pasangan yang mengajukan perceraian ke pengadilan agama dengan berbagai macam alasan. Memang yang lebih banyak terangkat adalah kisah rumah tangga para selebritis yang tak henti menghiasi layar kaca tentang rusaknya hubungan rumah tangga mereka. Tapi sesungguhnya itu hanya puncak sebuah gunung es. Karena masyarakat awam pun tak sedikit yang rumah tangganya bermasalah, bahkan mereka yang mendapat sebutan aktivis dakwah.

***
Begitu banyak buku-buku pernikahan yang beredar di pasaran, bahkan sebagian menjadi best seller. Tak hanya buku-buku non fiksi, bahkan para fiksionis pun lebih senang mengangkat tema–tema merah jambu karena lebih disukai pasar. Isinya kebanyakan bersifat provokatif kepada orang-orang yang belum menikah agar segera menikah. Namun sayangnya hampir semua buku-buku itu isinya terlalu melangit.

Maksudnya lebih banyak menceritakan pernikahan (kehidupan rumah tangga) pada satu sisi yang indah dan menyenangkan. Sementara sisi "gelap" pernikahan jarang sekali yang mengangkat. Tentang kehidupan setelah pernikahan, tentang biaya-biaya berumah tangga, dan hal-hal lain yang tentu tidak sepele dalam rumah tangga.

Isitrahatlah sejenak dari bermimpi tentang pernikahan. Jika mimpi itu hanya berisi bagaimana mengatasi rasa gugup saat akad nikah. Atau tumpukan kado dan amplop warna-warni menghiasi 'bed of roses'. Atau kalau hanya mengharap salam indah dan atau jawaban salam dari kekasih. Apalagi membayangi bisa menatap, berbicara dan menghabiskan waktu bersama belahan hati tercinta.

Pernikahan tidak cuma sampai di situ, sobat. Ada banyak pekerjaan dan tugas yang menanti. Bukan sekedar merapihkan rumah kembali dari sampah-sampah pesta pernikahan, karena itu mungkin sudah dikerjakan oleh panitia. Bukan menata letak perabotan rumah tangga, bukan juga kembali ke kantor atau beraktifitas rutin karena masa cuti habis.

Tapi ada hal yang lebih penting, menyadari sepenuhnya hakikat dan makna pernikahan. Bahwa pernikahan bukan seperti 'rumah kost' atau 'hotel'. Di mana penghuninya datang dan pergi tanpa jelas kapan kembali. Tapi lebih dari itu, pernikahan merupakan tempat dua jiwa yang menyelaraskan warna-warni dalam diri dua insan untuk menciptakan warna yang satu: warna keluarga.

Di tengah masyarakat yang kian sakit memaknai pernikahan, semoga kita tetap memiliki sudut pandang terbaik tentangnya. Betapa banyak orang yang menikah secara lahir, tapi tidak secara batin dan pikiran. Tidak sedikit yang terjebak mempersepsikan pernikahan sebatas cerita roman picisan dan aktifitas fisik. Hingga wajar jika banyak remaja yang belum menikah saat mendengar kata menikah adalah kesenangan dan kenikmatan. Hal itu ditunjang oleh buku-buku pernikahan yang isinya ngomporin. Sementara sesungguhnya yang harus dilakoni adalah tanggung jawab dan pengorbanan.

Memang pernikahan berarti memperoleh pendamping hidup, pelengkap sayap kita yang hanya sebelah. Tempat untuk berbagi dan mencurahkan seluruh jiwa. Tapi jangan lupa bahwa siapapun pasangan hidup kita, ia adalah manusia biasa. Seseorang yang alur dan warna hidup sebelumnya berbeda dengan kita. Seberapa jauh sekalipun kita merasa mengenalnya, tetapakan banyak 'kejutan' yang tak pernah kita duga sebelumnya. Upaya adaptasi dan komunikasi bakal jadi ujian yang cuma bisa dihadapi dengan senjata kesabaran.

Pasangan kita, yang kita cintai adalah manusia biasa. Dan ciri khas makhluk bernama manusia adalah memiliki kekurangan dan kelemahan diri. Memahami diri sendiri sebagai manusia sama pentingnya dengan memahami orang lain sebagai manusia. Pemahaman ini penting untuk dijaga, karena cepat atau lambat kita akan menemukan kekurangan atau kebiasaan buruk pasangan kita.

Oleh karena itu, bagi yang belum menikah, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan memilih pasangan hidup saja. Apalagi parameternya tak jauh dari penampilan, fisik, encernya otak, anak orang kaya, pekerjaan mapan, penghasilan besar, berkepribadian (mobil pribadi, rumah pribidi), berwibawa (wi...bawa mobil, wi...bawa handphone, wi...bawa laptop), dan sebagainya.

Tapi, pernahkah kita berpikir untuk membantu seseorang yang ingin mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik hari demi hari bersama diri kita?

Lebih dari itu, pernikahan dalam konteks dakwah merupakan tangga selanjutnya dari perjalanan panjang dakwah membangun peradaban ideal dan tegaknya kalimat Allah. Namun tujuan mulia pernikahan akan menjadi sulit direalisasikan jika tidak memahami bahwa pernikahan dihuni oleh dua jiwa. Setiap jiwa punya warna tersendiri, dan pernikahan adalah penyelarasan warna-warna itu. Karenanya merupakan sebuah tugas untuk bersama-sama mengenali warna dan karakter pasangan kita. Belajar untuk memahami apa saja yang ada dalam dirinya. Menerima dan menikmati kelebihan yang dianugerahkan padanya. Pun membantu membuang karat-karat yang mengotori jiwa dan pikirannya.

Menikah berarti mengerjakan sebuah proyek besar dengan misi yang sangat agung: melahirkan generasi yang bakal meneruskan perjuangan. Pernahkan terpikir betapa tidak mudahnya misi itu? Berawal dari keribetan kehamilan, perjuangan hidup mati saat melahirkan, sampai kurang tidur menjaga si kecil? Ketika bertambah usia, kadang ia lucu menggemaskan tapi tak jarang membuat kesal. Dan seterusnya hingga ia beranjak dewasa, belajar berargumentasi atau mempertentangkan idealisme yang orangtuanya tanamkan. Sungguh, tantangan yang sulit dibayangkan jika belum mengalaminya sendiri...

Menikah berarti berubahnya status sebagai individu menjadi sosial(keluarga). Keluarga merupakan lingkungan awal membangun peradaban. Dan tentu sulit membangun peradaban jika kondisi 'dalam negeri' masih tidak beres. Maka butuh keterampilan untuk memanajemen rumah tangga, menjaga kesehatan rumah dan penghuninya, mengatur keuangan, memenuhi kebutuhan gizi, menata rumah, dan masih banyak lagi keterampilan yang mungkin tak pernah terpikirkan...

Ini bukan cerita tentang sisi "gelap" pernikahan (wong saya sendiri belum nikah!). Tapi seperti briefing singkat yang menyemangati para petualang yang bakal memasuki hutan belantara yang masih perawan. Yang berhasil, bukan mereka yang hanya bermodal semangat. Tapi mereka yang punya bekal ilmu, siap mental dan tawakkal kepadaNYA. Karena pernikahan bukanlah sebuah keriaan sesaat, namun ia adalah nafas panjang dan kekuatan yang terhimpun untuk menapaki sebuah jalan panjang dengan segala tribulasinya.

Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa yang kokoh untuk menghapuskan pemisahan. Kesatuan agung yang menggabungkan kesatuan-kesatuan yang terpisah dalam dua ruh. Ia adalah permulaan lagu kehidupan dan tindakan pertama dalam drama manusia ideal. Di sinilah permulaan vibrasi magis itu yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran menuju dunia mimpi dan ilham. Ia adalah penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak, campuran dari keharuman itu menciptakan jiwa ketiga.

Wallahu'alam bisshowab.
Sumber: eramuslim, 06 April 2005 by Facebook Comment